SELAMATDATANG | SUGENGRAWUH | WELCOME

Anda telah masuk ke alam pikiran saya, HATI-HATI!

Selasa, 10 Juni 2008

BENTANG CAKRAWALA



Memberi sebuah nama kepada anak merupakan seni tersendiri bagi orang tua. Beberapa buku daftar nama anak dari berbagai bahasa diborongnya dari toko buku. Bahkan sebelum si anak itu lahir, nama sudah disiapkan sedemikian rupa. Aku sendiri pun sudah mulai memikirkan nama anakku sebelum istriku hamil. Tentunya dua nama, satu nama laki-laki, satu nama perempuan. Kalau toh nanti lahir kembar, tinggal bikin satu nama lagi dengan merubah salah satu hurufnya. Sok subur memang.

4 Mei 2008, tanggal lahir anak pertama ku, akupun sudah siap menuliskan nama di Surat Keteranga Kelahiran dari Rumah Sakit Adi Husada Kapasari Surabaya. Bentang Cakrawala, tekadku. Sang Bidan pun tersenyum kecil menuliskan nama itu di selembar kertas.

Cukup banyak pertanyaan yang ditujukan padaku setelah ku beri nama anakku Bentang Cakrawala. ”Apa artinya mas?”, Bisa-bisa aja memberi nama anak”. ”Wah, gak terlalu berat tuh nama anaknya?” Emang kalau aku beri nama Kapas Putih Kurniawan, apa akan ada orang yang menyebut nama dia terlalu ringan. Tapi ada juga yang memuji nama itu  . Apapun nama yang kita berikan, pasti baik. Tidak ada orang tua memberi nama anaknya dengan maksud jelek.

Memang kebanyakan orang cuman menanyakan pada si orang tua apa arti nama yang diberikan ke anaknya. Hal ini dikarenakan banyak orang tua memberi nama anaknya dengan bahasa-bahasa asing yang tidak terlalu dikenal orang.

Setelah diberi tahu artinya, selesai, si penanya biasanya menginterpretasikannya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan biasanya tidak muncul misalnya ”Apa maksudnya?”, ”Apa tujuan memberi nama itu?”, ”Kenapa kok memberi nama itu?”. Padahal itu yang lebih menarik

Bahasa
Dalam buku kumpulan nama-nama untuk anak, banyak sekali disediakan kata-kata indah dan mempunyai arti yang bagus dari berbagai bahasa. Mulai dari Bahasa Sansekerta sampai Bahasa Portugis. Bahasa Jawa sampai Bahasa Arab. Tetangga ku memberi nama anaknya Nurul Jannah, dari Bahasa Arab. Saran ku, kenapa tidak Cahaya Surga aja namanya, walaupun nanti panggilannya Mbak Sur. Wuak...

Bahasa Indonesia memang menjadi pilihan saya ketika akan memberi nama anak. Kenapa? Apa maksudnya? Supaya orang-orang tidak menanyakan lagi apa artinya. Kecuali mungkin orang-orang bule sana.

Bahasa indonesia saya pilih juga sebagai wujud kecintaan terhadap bangsa ini. Terus terang saya sering risih ketika mendengar komentar bola yang mencampuradukkan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. ”Rupanya coach Beni Dollo punya strategi lain di babak II ini”, lucu kan. Makanya saya sering mengalihkan saluran TV ketika bakak I selesai.


Tokoh Baru
Sudah menjadi kebiasaan orang tua saat ini, memberi nama anaknya dengan mencomot nama tokoh, pahlawan atau orang-orang terkenal yang pernah ada. Biasanya orang tua seperti ini mengharapkan anaknya akan meniru prilaku atau polapikir seperti sang tokoh tersebut. Atau setidaknya dia akan juga menjadi orang yang terkenal seperti tokoh yang dimaksud.

Lenina Lestari misalnya. Orang tuanya mungkin mengharapkan anaknya mempunyai pikiran seperti tokoh komunis Rusia Vladimir Ilyich Lenin. Ada juga yang memberi nama anaknya Muhammad Alvonso, mungkin supaya berperilaku anaknya kelak seperti Rosulullah.

Ini adalah alasan kedua mengapa saya memberikan nama Bentang Cakrawala. Ya... Supaya nanti dia menjadi tokoh baru di dunia ini. Amiin.

Jadi soal arti nama anak saya. Terserah anda sendiri mengartikannya. Dibawah ini saya sisipkan arti kata “Bentang” dan “Cakrawala” yang saya cuplik dari Situs Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Daring. Selamat mengartikan.

ben•tang v hampar;
-- alam pemandangan alam atau daerah dng aneka ragam bentuk permukaan bumi (gunung, sawah, lembah, sungai, dsb) yg sekaligus merupakan satu kesatuan; lanskap;
mem•ben•tang v tampak terhampar; terbuka luas: sepanjang jalan tampak sawah -;
mem•ben•tangi v 1 menghampari; menutupi (dng sesuatu yg dihamparkan): - seluruh lantai dng permadani yg tebal;
mem•ben•tang•kan v 1 menghamparkan (tikar, permadani, dsb): ia - seluruh tikar untuk duduk-duduk di bawah pohon; 2 mengembangkan; membeber (sayap, kemah, layar, dsb); membabar; 3 menerangkan panjang lebar (pendapat dsb) menguraikan; memaparkan: ia - makalahnya selama 30 menit;
ter•ben•tang v tampak terbuka luas (sawah, langit, dsb); terbabar; (pukat, layar, dsb); terhampar (tikar dsb);
ben•tang•an n yg dibentangkan (layar, permadani, lampit, dsb)

cak•ra•wa•la n 1 lengkung langit; 2 langit (tempat bintang-bintang); 3 peredaran bintang di langit (kerap pula berarti sbg bintang di langit); 4 kaki langit; tepi langit; batas pemandangan; horizon; 5 ki jangkauan pandangan: mahasiswa harus memperluas -- pengetahuan; 6 ki khazanah; kekayaan: dl acara -- Budaya Nusantara akan ditampilkan kesenian daerah Yogyakarta;
-- angkasa Lay lingkaran besar di bola langit yg berbentuk pd perpotongan bola langit dng bidang datar yg melalui pusat bumi, dan tegak lurus thd garis antara zenit dan nadir; -- maya Lay garis pertemuan antara bumi dan langit yg terlihat secara visual;
ber•cak•ra•wa•la v ki mempunyai cakrawala; mempunyai pedoman tertentu: dl praktik, banyak orang yg hidupnya ti-dak ~


Rabu, 06 Februari 2008

SOLIDARITAS MELAWAN IMPUNITAS



Tulisan ini kira-kira sudah setahun yang lalu aku buat, kalau tidak salah sekitar akhir Februari 2007. Waktu itu ada salah satu media cetak yang menyediakan kolom untuk aktivis yang mau mencurahkan isi hatinya. Tulisan ini pun aku kirim. Tapi rupanya sang redaktur kurang berkenan. Akhirnya........

Setelah melalui proses yang cukup panjang dan penuh aral, Komnas HAM mampu menyelesaikan penyelidikan atas peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi tahun 1997-1998. Pada akhir tahun 2004, atas desakan yang begitu kuat dari keluarga korban dan publik, Komnas HAM membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
Tim ini telah bekerja kurang lebih selama dua tahun sejak akhir 2004 sampai pertengahan tahun 2006. Di antara puluhan aktivis korban penculikan, sebagian sudah dilepaskan, namun sebagian lainnya sampai sekarang masih belum jelas nasibnya. Dari hasil kerja Tim tersebut, diketahui bahwa di antara para akitvis yang belum dilepaskan, satu orang telah meninggal dunia karena tusukan bayonet dan 13 orang lainnya tidak diketahui keberadaannya.
Laporan penyelidikan Komnas HAM juga menyebutkan bahwa kasus ini melibatkan para anggota TNI dan Polri sebagai pelaku penghilangan paksa. Sebanyak 9 orang anggota dan purnawirawan TNI sebagai pengendali dan penanggungjawab. Serta 2 orang anggota dan purnawirawan Polri. Sedangkan pelaksana lapangan sebanyak 11 orang prajurit dan perwira TNI-AD.
Atas dasar temuannya itu, Komnas HAM merekomendasikan kasus ini sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menindaklanjuti dengan membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam konteks itu, Kejaksaan Agung segera melaksanakan tugasnya untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap para pelaku.
Namun, ternyata pemerintah melalui Kejaksaan Agung, menolak melakukan proses penyidikan dengan alasan DPR belum merekomendasikan kepada Presiden untuk digelarnya pengadilan HAM ad hoc.
Tidak sekali ini saja kasus seperti ini terjadi. Peristiwa Trisakti dan Semanggi ysng menyebabkan terbunuhnya beberapa mahasiswa, proses hukumnya juga berhenti hanya di tingkat penyelidikan Komnas HAM dengan alasan yang hampir sama; DPR tidak meyimpulkan kasus Trisakti dan Semanggi sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
Ini merupakan preseden hukum yang jelas melukai nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan serta amanat reformasi, di mana kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi agenda dan tugas dari pemerintah sekarang untuk menyelesaikannya.
Pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung ternyata belum memiliki political will untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, dengan berlindung di balik keputusan politik DPR. Padahal jelas DPR bukan lembaga hukum yang punya wewenang melakukan penyelidikan. Sementara itu, DPR sampai hari ini juga masih belum bersikap tegas atas kelanjutan proses hukum peristiwa penghilangan orang secara paksa ini.
Impunitas (ketiadaan hukuman) bagi aparatus negara adalah masalah utama dalam usaha menegakkan, melindungi dan memajukan hak-hak asasi manusia. Berbagai upaya masyarakat sipil Indonesia, termasuk komunitas korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan keadilan, selalu terbentur tembok tebal yang disebut impunitas ini.
Dalam kondisi seperti ini, menjadi penting untuk mengembangkan dan menyebarluaskan alternatif (bukan pengganti) dari kewajiban negara sebagai upaya memenuhi kebutuhan dan hak korban sembari terus menekan negara untuk memenuhi kewajibannya. Karena penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tidak hanya penting bagi korban sendiri, melainkan bagi bangsa dan negara secara keseluruhan.

Belajar dari Plaza de Mayo
Dalam setiap sejarah perubahan sosial, kita bisa belajar bahwa negara (baca: pemerintah) tidak akan begitu saja rela memberikan kebebasan dan keadilan bagi rakyatnya. Negara akan memberikan keadilan dan demokrasi ketika kekuatan rakyat bergerak untuk merebut hak-haknya yang terampas.
Ibu-ibu yang kehilangan anaknya karena diculik aparat rejim militer di Argentina tahun 1979, melakukan aksi duduk sambil membentangkan foto anak-anaknya di sebuah tempat yang dilalui banyak orang, yang bernama Plaza de Mayo.
Bertahun-tahun mereka tanpa lelah melakukannya, dari belasan orang, berkembang menjadi ratusan, sampai banyak masyarakat yang bersimpati bergabung dan berkembanglah gerakan itu menjadi ribuan orang. Sampai kemudian gerakan itu meluas menjadi gelombang aksi yang berhasil memaksa mundur Pemerintahan junta militer tahun 1983.
Pemerintahan baru di Argentina kemudian membentuk sebuah komisi kebanaran (truth commision) yang bertugas menyelidiki kasus penghilangan paksa itu. Komisi itu berhasil menyeret pertanggungjawaban para pelaku dan merekomendasikan kepada pemerintah baru untuk memberikan hak rehabilitasi dan kompensasi kepada para korban dan keluarga korban.

Membangun Solidaritas
Kebuntuan proses penanganan kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu di Indonesia, adalah konsekuensi logis belum adanya political will pemerintah dan lemahnya kekuatan masyarakat sipil khusunya komunitas korban dan pembela HAM. Paling tidak dalam waktu dekat ini, mengharapkan pemerintah untuk memaksa para pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah ibarat pungguk merindukan bulan.
Upaya untuk menyeret para pelaku kejahatan HAM dan menemukan kembali para korban penghilngan paksa, bukanlah perkara mudah. Hal ini dikarenakan masih kuatnya resistensi dari orang-orang yang diindikasikan kuat sebagai para pelaku (sang pemegang komando dan juga operator lapangannya). maupun ”ketakutan” pemerintah sekarang untuk menghadapi elemen-elemen kekuatan lama itu.
Oleh karena itu, dibutuhkan proses pemberdayaan dan penguatan korban serta keluarga korban secara terus-menerus. Di samping juga perlunya penggalangan solidaritas dari para pembela HAM dan akademisi, apalagi sebagian korban adalah para aktivis mahasiswa yang telah menjadi martir atas sebuah cita-cita kebebasan, demokrasi dan keadilan sosial.
Di antara mereka adalah Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah, keduanya adalah mahasiswa FISIP Universitas Airlangga yang hilang beberapa saat setelah terlibat dalam gerakan menolak dipilihnya kembali Soeharto dalam Sidang Umum pada bulan Maret 1998.
Namun, bagaimana harapan itu akan menemukan jalannya? Ibu-ibu di Argentina telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa semangat dan penggalangan kekuatan masyararakat luas adalah sebuah modal yang sangat kuat untuk melakukan perubahan.
Berbagai upaya penggalangan kekuatan masyarakat sipil, dalam bentuk, pengorganisasian, diskusi, seminar, publikasi kasus-kasus HAM melalui media cetak dan elektronik serta membangun monumen-monumen korban pelanggaran HAM, mempunyai makna penting.
Pertama, sebagai simbol penyam
paian suara kebenaran (truth telling). Kedua, sebagai upaya untuk membangun memori kolektif publik bahwa negara masih punya tanggung jawab besar untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketiga, sebagai upaya untuk menyiarkan dan mengingatkan kepada publik, bahwa dengan diungkap dan diselesaikannya kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu dengan tuntas, kita sebagai bangsa akan terlepas dari beban masa lalu dan bisa melangkah dengan lebih ringan ke masa depan tanpa dendam dan tidak mengulang kekejaman-kekejaman serupa.
Dalam perspektif itu, Pengadilan HAM diharapkan tidak hanya sebagai media untuk menyeret para pelaku penculikan dan penghilangan paksa, tapi yang lebih penting adalah mampu menguak keberadaan para aktivis yang masih hilang tersebut.
Seperti yang diutarakan oleh para ibu dan bapak yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI): “Kami tidak dendam terhadap aparat yang menculik anak kami. Kami hanya berharap pengakuan dari mereka: di mana sesunguhnya anak kami berada. Kalau masih hidup di mana tinggalnya, kalau sudah mati di mana kuburnya…”

Selasa, 05 Februari 2008

Baru


Baru.... sesuatu yang baru itu pasti bagus, enak dan menyenangkan. Coba anda rasakan kalau anda baru makan, baru be'ol, baru bangun atau bahkan baru sakit, pasti banyak yang jenguk. temen baru mungkin juga jenguk.
ya blog ini memang baru aku buat. Namanya juga baru, baru aku mulai untuk merawatnya.
Semoga tetap baru..... dan untuk sekedar menambah kata baru dalam tulusan ini, aku informasikan, aku juga baru menikah, pengantin baru namanya. Satu lagi, baru itu nikmat.
Jangan dihitung berapa banyak kata 'baru' disini. Kalau nekat, berarti anda baru saja menghitung